Minggu, 20 Januari 2013

Halo Rinjani! (1): Sang Provokator


Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menjaga sebuah ingatan bertahan dikepala bagi saya. Banyak film juga buku yang saya lupa sama sekali jalan cerita/isinya padahal baru saya tonton/baca beberapa bulan yang lalu.

Tidak demikian halnya dengan cerita perjalanan ke Rinjani sewaktu lebaran tahun 2010 yang lalu. Setiap melihat-lihat kembali beberapa foto perjalanan tersebut, ingatan tentang detail dan cerita perjalanan yang sama sekali tak terduga itu dengan mudah kembali muncul dan terangkai di kepala.

Kisah ini dimulai dari ajakan Yogi, teman saya yang sungguh gila dalam urusan mendaki gunung. Pada bulan Agustus tahun tersebut, baru saja kami menggapai puncak tertinggi di Tabanan juga puncak tertinggi di pulau Bali. Waktu itu, sama sekali Yogi tidak membicarakan tentang niatnya untuk ke Rinjani. Sayapun berangkat ke Jogja.

Belum seminggu sampai di jogja, saya mendapat pesan dari Yogi. Isinya, ajakan untuk ke Rinjani pada libur lebaran. Gila!! Tentu saya tidak mengiyakan ajakan tersebut. Baru saja saya sampai di Jogja, masa pulang lagi? Ada rasa sungkan pada keluarga. Nanti kesannya kerjaan saya jalan-jalan terus, padahal duit masih di supply oleh orang tua.

Yogi merupakan seorang provokator handal, jangankan saya yang sudah sering naik gunung dengan dia semenjak SMA, beberapa teman di Bali yang sebelumnya tidak memiliki track record mendaki pun belakangan berhasil dicuci otak untuk menjadi seorang maniak mendaki. Bayangkan saja, Yogi dan beberapa teman saya itu sudah hampir menginjakkan kaki di seluruh puncak yang berada diatas ketinggian 1500 mdpl di pulau bali. Tinggal satu yang belum berhasil digapai, puncak gunung Sang Hyang yang berada di wilayah Penebel. 

Coba lihat daftar puncak-puncak yang telah digapainya. Puncak Kedaton Batukaru, Puncak Adeng, Puncak Gunung Lesung, Puncak Mangu baik melalui jalur Bedugul maupun Petang, Puncak Keramat melalui jalur Buyan maupun Kebun Raya, Puncak Pohen, Puncak Abang dari jalur Desa Abang juga menjelajah separuh jalur menuju Puncak Abang dari Songan, namun sayang masih belum menemukan jalan untuk sampai ke puncak setelah 3 kali percobaan, Puncak Gunung Agung dan tentu saja Puncak Gunung Batur, gunung masa SMA kami.

Layaknya seorang provokator, tak kenal lelah dia membujuk dan meyakinkan saya agar mau berangkat. Namun saya tetap bergeming. Ada satu lagi faktor penghambat, keuangan saya sedang tipis. Berangkat ke Lombok dari Jogja memerlukan dana yang tidak sedikit kawan. Tak henti dia mengiming-imingi, “gampang lah itu, asal udah di bali, ga usah mikir duit lagi, nanti ongkos ke lombok saya yang tanggung” begitu bujuknya. Saya mulai bimbang, Rinjani merupakan salah satu gunung yang paling sering saya intip keindahannya dari layar monitor. Ketika kesempatan itu terbuka cukup lebar, masa iya saya buang begitu saja.

Kebetulan yang tak terduga tiba-tiba datang, teman saya Gusur menghubungi dan mengabarkan bahwa dia akan melangsungkan pernikahan pada 14 september, tepat sehari sepulang dari perjalanan ke Rinjani menurut jadwal yang diberikan Yogi waktu itu. Bimbang seketika sirna, tanpa babibu saya menghubungi Yogi dan mengiyakan ajakannya dengan penuh semangat. Ke Rinjani, lalu menghadiri pernikahan teman. Rasanya tidak ada keputusan yang lebih tepat tatkala itu. Bersenang-senang diatas kesenangan teman itu memiliki kadar senang yang berlipat-lipat!!.

Begini rencana perjalanan saya waktu itu, berangkat dari Jogja tanggal 8, sampai di Bali tanggal 9, malamnya berangkat ke Lombok, esok hari tanggal 10 langsung memulai pendakian dari jalur Senaru, malam pertama menginap di Plawangan Senaru, malam berikutnya tanggal 11 di Plawangan Sembalun, tanggal 12 di Segara Anak, lalu tanggal 13 turun kembali melalui Senaru. Tanggal 14 sampai di Bali, malam harinya langsung ke tempat Gusur, lalu keesokan harinya tanggal 15 langsung balik ke Jogja.

Bersambung . . .