Jumat, 15 Maret 2013

Suara Tujuh Nada

I don`t know why we do it like this
Oh so strange...
Hangin` out everytime
To reach the end

Ricky tampak sedang menyenandungkan lagu Pathetic Waltz dari Pure Saturday sambil memainkan Gitar milik Rio. Ini kali ketiga saya menonton pertunjukan White Shoes And The Couples Company. Penampilan yang tidak terduga sama sekali. Alih-alih menjawab bayangan saya tentang Sari yang akan kembali membawa payung seperti ketika pertunjukan di LIP 2 tahun yang lalu, yang ada saya malah disuguhi pertunjukan absurd, dalam arti yang menyenangkan tentunya. Ricky yang bernyanyi sambil bermain gitar akustik, Rio yang bermain drum kemudian berganti memainkan bass, Saleh yang bermain drum, juga John dengan dentingan glockenspielnya.

White Shoes menjadi penampil pamungkas di pertunjukan bertajuk Suara Tujuh Nada di Teater Garasi kamis malam, 13 Maret kemarin. Penampil sebelumnya adalah duo folk asal Jogja Stars and Rabbit dan trio folk rock dari Bali Dialog Dini Hari. 

Saya awam sama sekali dengan Stars and Rabbit. Siapa mereka dan musik seperti apa yang mereka mainkan. Sebelumnya saya pernah mendengar nama mereka sewaktu menjadi penampil di Joyland Fest beberapa bulan yang lalu. Festival yang juga diadakan oleh G Production sang penyelenggara tur Suara Tujuh Nada. 

Saya mulai melakukan pencarian dengan mesin google, kemudian diarahkan ke halaman youtube dan soundcloud. Adalah sebuah kebiasaan bagi saya untuk mengunduh video dan lagu-lagu dari halaman youtube dan soundcloud agar dapat didengarkan kembali di kos tanpa memerlukan koneksi internet. Jadilah selama hampir seminggu sebelum acara, playlist saya juga dihiasi oleh beberapa lagu mereka. Saya jatuh hati pada cara bernyanyi dan karakter vokal unik sang biduan, Elda. Waktu menyaksikannya pertama kali di salah satu video yang ada di halaman youtube, wajahnya terlihat tidak asing, suara vokalnya juga. Ternyata benar, dia adalah pemenang acara pencarian vokalis sebuah band di salah satu stasiun tv beberapa tahun yang lalu. Penampilannya malam itu mengingatkan saya pada video penampilan Alanis Morissete di Woodstock 99. Mungkin karakter vokal unik, cara bernyanyi selengekan dan pakaian sedikit nyeleneh yang mereka kenakan yang menjadi benang merahnya.

Malam itu mereka memainkan tujuh buah lagu. "I’ll Go Along", "Catch Me", "You Were The Universe", "Like It Here", "Worth It", "Old Man Finger" dan "Man Upon The Hill". Sayang salah satu lagu favorit saya, "Rabbit Run" tidak dimainkan malam itu. Padahal lagu itu merupakan salah satu lagu yang dengan usaha keras saya hafal liriknya selain "Man Upon The Hill" dan "Like It Here" demi kepentingan sing along dalam konser tersebut.

* * *


Pohon Tua merangkul gitarnya memasuki venue. Dia langsung menyenandungkan sebuah lagu yang terdengar asing, itu kali pertama saya mendengarnya. Sebuah lagu cinta yang kelam. Begitu kesimpulan saya begitu mendengar liriknya. Saya mencoba mengingat kembali liriknya ketika menulis cerita ini, dan gagal. Hanya kata belalang, penggal dan laba-laba yang terlintas di kepala. Beruntung saya menemukan review pertunjukan malam itu di situs rollingstone indonesia. Berikut saya kutipkan cuplikan lirik yang belakangan baru saya tahu berjudul "Jerit Sisa" itu. 

"Jika aku belalang sembah kan ku biarkan kepalaku kau penggal seusai membuahimu agar aku tak bisa membuahi perempuan lain."

Impulsif. Entah perasaan apa yang merasuk pada diri Pohon Tua ketika menuliskan lirik itu. Mungkin dia baru saja menemu atau terdampar bersama sesosok begitu sempurna yang benar-benar mampu menentramkan batinnya. 

Lagu-lagu berikutnya menjadi pemutar kembali berbagai memori ketika saya baru berkenalan dengan Dialog Dini Hari beberapa tahun yang lalu. Ini kali pertama saya menonton pertunjukan mereka secara langsung. Tentu ada kesenangan tersendiri ketika akhirnya bisa melihat secara langsung penampilan band yang musiknya biasa kita dengarkan lewat alat pemutar musik. 

Waktu itu lagu-lagu dari album Beranda Taman Hati selalu mendapat tempat di playlist saya. Di pagi hari ketika baru bangun tidur, ditengah riuh siang, dan tentu ditengah sunyi malam yang menjadi waktu favorit saya untuk mendengarkan album ini. Angan saya melambung pada suatu malam begitu sendu ketika mereka memainkan "Satu Cinta" setelah menyanyikan "Rehat Sekejap". Alat pemutar kenangan saya langsung bekerja, menampilkan cuplikan-cuplikan kejadian di masa lalu. Andai saja lagu berikutnya adalah "Ku Kan Pulang," mungkin saya akan kembali menitikkan airmata dibuatnya.

Lagu berikutnya adalah "Renovasi Otak", "Pelangi" lalu "Beranda Taman Hati". Kembali saya dibawa terlempar ke suatu masa ketika mendengar Dadang sang Pohon Tua mendendangkan "Dam, dadam, dadam darararam" sambil diselingi canda tawa bersama Zio. Tiba-tiba saya terlempar ke sebuah mobil tua yang saya tumpangi dalam perjalanan pulang dari sebuah pendakian ke Gunung Agung. Waktu itu saya didebat oleh seorang teman tentang betapa tidak catchy-nya lagu yang sedang saya putar. Tapi saya tetap memaksa untuk memutar album Beranda Taman Hati sampai habis, kali saja pandangannya berubah setelah mendengar isi album tersebut secara utuh. Sampai lagu terakhir habis, saya gagal merubah pandangan teman saya yang satu itu. Namun keesokan harinya seorang teman lainnya yang waktu itu hanya menyimak perdebatan kami datang kerumah dan meminta copy dari album itu. Saya tidak benar-benar gagal ternyata.

Empat lagu terakhir, "Pagi", "Aku Adalah Kamu", "Lengkung Langit" dan "Oksigen" menjadi ajang sing along massal bagi para Sahabat Pagi. Tentu saya ikut bernyanyi, tapi hanya pada beberapa bagian reff saja. Lain kali kalau saya berangkat sendiri dan tidak ada orang yang saya kenal disekitar, mungkin saya akan bernyanyi lebih lantang.

Beberapa penonton langsung berdiri sambil memberikan tepuk tangan meriah begitu Dialog Dini Hari mengakhiri lagu "Oksigen" yang menjadi lagu penutup penampilan mereka malam itu. Saya hendak berdiri, tapi kembali tertahan oleh keberadaan seorang teman wanita yang ada di sebelah saya. Saya sering begitu, jadi sedikit membatasi tingkah jika berada di dekat wanita.

* * *

White Shoes memainkan intro lagu "Matahari". Seorang pria dengan potongan rambut mullet yang duduk di belakang saya langsung berdiri dan dengan penuh semangat berjoget mengikuti musik yang mengalun. Pria itu ikut menembangkan setiap bait lagu "Matahari" sambil sesekali mengangkat botol bir yang ada di tangannya. Pria itu mungkin merupakan sahabat dekat dari para anggota kelompok tersebut. Dengan penuh percaya diri dia selalu meminta Sari untuk memainkan lagu "Matahari" hampir di setiap jeda lagu. "Matahari Mba Sis!" begitu teriaknya.


"Matahari" merupakan salah satu lagu White Shoes yang begitu gegap selain "Senja Menggila". Untuk selanjutnya, nampaknya daftar lagu-lagu gegap dari White Shoes akan bertambah lagi dengan diluncurkannya album lagu-lagu daerah yang menurut Sari akan segera diluncurkan dalam waktu dekat. Malam itu mereka memainkan set lagu-lagu daerah yang telah mereka aransemen ulang tersebut sekembali Sari ke atas panggung setelah sebelumnya menghilang sejenak untuk membiarkan teman-temannya bermain-main dan saling bertukar instrumen ketika memainkan lagu "La Javanese" milik Serge Gainsbourg dan "Pathetic Waltz" dari Pure Saturday. Aransemen yang mereka buat begitu ramai. Gemericit melodi yang dihasilkan oleh Saleh saling sahut dengan gemerincing gitar Rio juga betotan bass Ricky dan gebukan drum John. Kalau saja malam itu pemain keyboard Aprimela Prawidyanti tidak berhalangan hadir, mungkin keriuhan akan bertambah lengkap dengan bebunyian-bebunyian ajaib yang sering dihasilkan dari keyboard miliknya.

Absennya Mela membuat White Shoes menampilkan sebuah penampilan yang sedikit berbeda malam itu. Ricky sempat memainkan cello di empat lagu "Nothing to Fear", "Bersandar", "Runaway Song" dan "Today Is No Sunday" sebelum kemudian Sari menghilang sejenak dari panggung.

Penampilan Sari selalu menggemaskan. Dia tidak hanya memiliki suara yang begitu merdu. Aksi panggungnya juga selalu mampu menimbulkan senyum lebar di bibir. Malam itu pandangan saya tidak pernah lepas dari sang biduan yang tampil dengan potongan rambut barunya. Dia berdansa begitu luwes, ditambah lagi dengan rias wajah apik dan pakaian terusan berwarna hijau yang dikenakan, sungguh sedap dipandang mata, benar-benar menggemaskan. Pria berambut mullet tadi bahkan tidak henti menggodanya setiap jeda lagu. Orang itu memanggil Sari dengan panggilan "Mba Sis". Mungkin itu panggilan sayang dari orang-orang terdekatnya.

White Shoes menutup konser dengan gegap gempita malam itu. Apalagi kalau bukan dengan lagu "Aksi Kucing". Teater Garasi langsung berubah jadi kandang kucing raksasa begitu lagu itu dimainkan. Semua orang mengeong genit bagai kucing yang sedang gelisah hendak bercinta, "Eooongg" "Eooongg".

Konser yang begitu apik, penuh kesenangan, dengan suasana rumah yang begitu akrab. Semoga saja seri pertunjukan seperti ini masih terus berlanjut di waktu yang akan datang dan menjangkau tempat-tempat yang belum terjamah, seperti kota saya Tabanan misalnya.

Ah, semoga saja :)