Selasa, 12 Maret 2013

Halo Rinjani! (4-habis): Because It's There

Sambungan dari cerita Pos Cemara Pelangi.

Gunung Baru Jari, Danau Segara Anakan dan Padang Rumput

Segerombolan orang sedang berjalan menuju danau. Mereka tampak membawa terpal dan beberapa pancing. Jumlah mereka mungkin lebih dari 10 orang, terdiri dari berbagai usia. Kalau dilihat dari postur tubuhnya, yang paling kecil mungkin berusia sekitar 11 tahun dan sedang bersekolah di kelas 5 sekolah dasar, yang paling senior nampaknya seumuran bapak saya, kemudian sisanya adalah pemuda seumuran saya dengan badan lebih tegap dan kulit lebih legam.

Mereka adalah segerombolan penduduk dari kaki Gunung Rinjani yang hendak piknik di sekitaran danau Segara Anakan. Piknik seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat perkotaan ketika bertemu akhir pekan atau hari libur. Tapi ada sedikit perbedaan. Mereka tidak membawa tikar juga berbagai makanan siap saji disini. Mereka cukup membawa beras dan alat untuk menanaknya menjadi nasi. Sisanya, mereka serahkan pada alam. Ketika kami baru saja selesai berkemas untuk melanjutkan perjalanan, saya melihat mereka membawa ikan nila mungkin sebesar dua telapak tangan yang hendak dibakar di perapian sisa semalam yang dibuat oleh para porter. Ah, sial!. Andai saja gerombolan ini datang lebih awal, mungkin kami bisa menyantap menu sarapan penutup perjalanan yang sempurna pagi itu.

* * *

Matahari belum juga menyembul sempurna di ufuk timur. Kami baru saja keluar dari tenda dan sedang berjalan menuju danau. Beberapa porter tampak sedang memasak di satu-satunya bangunan permanen yang ada di dekat danau. Pagi itu merupakan pagi terakhir kami di Rinjani. Pagi yang sendu, dengan ingatan tentang perjalanan begitu indah yang baru saja kami lalui selama tiga hari yang lalu. Kami bersenda gurau di pinggir danau sambil sesekali mengabadikan gambar. Air danau yang begitu tenang menghasilkan refleksi sempurna bukit-bukit yang memutarinya, sungguh indah.

Hari itu kami akan melakukan perjalanan kembali ke Desa Senaru, desa dimana kami memulai pendakian. Desa Senaru masih sangat jauh dari danau Segara Anakan. Mungkin butuh tujuh jam perjalanan untuk sampai kesana dari danau. Sedikit aneh, saya merasa sudah mengakhiri perjalanan sewaktu bermain-main disekitar Danau Segara Anakan pagi itu. Saya sudah tidak memikirkan lagi tentang perjalanan pulang cukup panjang yang nanti akan kembali saya tempuh. Nampaknya perjalanan selama dua hari sebelumnya, seberangkat dari Pos Cemara Lima yang menjadi penyebabnya. Perjalanan penuh kejutan dan rasanya merupakan sebuah pencapaian yang akan sulit dicari tandingannya untuk beberapa waktu kedepan bagi saya. Batas-batas kesabaran juga daya tahan fisik saya benar-benar diuji waktu itu. Ada rasa lega yang tak biasa ketika saya berhasil melewatinya. Perjalanan selanjutnya mungkin akan jadi terlihat sedikit ringan setelah apa yang saya lewati selama dua hari tersebut.

Sebelumnya, tidak pernah terlintas sedikitpun dibenak saya bahwa perjalanan untuk menggapai Plawangan Sembalun dari danau Segara Anakan akan sesulit itu. Tebing yang tidak berkesudahan rasanya. Udara tipis dan kemiringan tebing yang rata-rata lebih dari 60 derajat tidak hanya menguras fisik dan mental, bahkan mungkin hampir mengeringkannya. Tidak terhitung lagi berapa kali saya harus beristirahat sebelum akhirnya berhasil menggapai Plawangan Sembalun.

Begitu juga dengan perjalanan pamungkas menggapai puncak Rinjani di pagi berikutnya. Medan berpasir penguji iman begitu saya menyebutnya. Iman untuk menggapai puncak Rinjani tentunya. Pasir tempat berpijak yang begitu gembur membuat langkah jadi begitu berat. Setiap pijakan tidak pernah sempurna, selalu merosot ke bawah beberapa jengkal. Mungkin ada satu langkah ke bawah setiap lima langkah ke atas kami. Andai saya hanya seorang diri disana, tentu saya tidak akan mampu menyelesaikan perjalanan hampir selama lima jam itu. Untungnya pagi itu saya bersama dua orang teman yang begitu luar biasa. Yogi si tenaga kuda dan Bawa si manusia kebal dingin. Kami berjalan beriringan, saling susul dan menyemangati. Ketika Bawa dan Yogi sedang beristirahat di depan, saya lalu menyusul dan mendahului mereka. Beberapa meter didepan ketika saya beristirahat, mereka lalu kembali menyusul dan melewati saya. Begitu seterusnya sampai akhirnya kami berhasil menggapai puncak.

Rasa tidak sabar muncul dalam perjalanan kami menuruni lereng untuk kembali ke Plawangan Sembalun. Kami sedikit berlari, jalur pasir yang gembur membantu kami mempercepat langkah. Setiap langkah akan mendapat bonus setengah langkah bantuan dari perosotan pasir.

Puncak Rinjani

Sesampai di Plawangan Sembalun, beberapa pendaki tampak sudah mengemas tenda mereka. Beberapa lagi tampak sedang mengerubungi tendanya. Ternyata ada serangan monyet tadi pagi ketika kami menggapai puncak. Saya langsung memeriksa tenda. Ternyata tenda kami juga tak luput dari serangan. Dinding bagian kirinya sobek, beberapa perbekalan juga berhasil dirampas, beruntung hanya sedikit. Kami lalu memasak sebelum lanjut tidur beberapa saat guna memulihkan kembali stamina sebelum perjalanan turun menuju Segara Anakan.

Danau Segara Anakan, disitulah segala lelah perjalanan selama dua hari sebelumnya kami lepas. Waktu lebih banyak kami isi dengan bercengkrama di pinggir danau, leyeh-leyeh di tenda dan memasak. Pada sore hari setiba dari Plawangan Sembalum kami juga sempat mandi air hangat di pemandian air hangat alam yang ada tidak jauh dari danau. Andai waktu libur kami lebih panjang, mungkin kami akan memutuskan untuk menginap disana lebih lama lagi.

Perjalanan kembali ke Plawangan Senaru dari Segara Anakan menjadi jalur menanjak terakhir kami sebelum kemudian turun menuju Pos Cemara lima dan memasuki hutan Senaru.

Plawangan Senaru merupakan penyebab utama saya datang ke Rinjani waktu itu. Tentu ada kelegaan tersendiri ketika berhasil menggapainya pasca bermalam di Pos Cemara Lima malam sebelumnya. Kelegaan yang sama masih muncul ketika saya berhasil menggapainya kembali dalam perjalanan pulang. Dia bukan menjadi tujuan kali ini, tapi menjadi "bukit pengantar". Bukit yang mengantarkan saya untuk menyunggingkan senyum dan mengucap sampai jumpa pada Puncak Rinjani di ufuk timur, Danau Segara Anakan dan Gunung Baru Jari di tengah kaldera Rinjani, juga mengantarkan saya untuk melanjutkan perjalanan menurun menyusuri padang rumput guna kembali ke Desa Senaru.

Semangat kami sedikit meluap mendapati lereng sabana di depan mata. Jalur menurun tanpa jeda. Sesekali kami berlari kecil, melompat-lompat seperti kangguru dan bermain perosotan sepanjang perjalanan. Jejak lelah akibat perjalanan begitu panjang yang baru saja kami lalui tampak samar di wajah Bawa dan Yogi, lebih banyak keceriaan yang saya tangkap ketika itu. Apalagi ketika kami berlari marathon menuruni hutan Senaru. Saya kehilangan jejak lelah dari wajah mereka. Saya pun sampai lupa nyeri di lutut yang sebenarnya timbul ketika awal kami mulai berlari. Kami seperti anak kecil yang sedang mengejar layang-layang, berlari dan terus berlari. Sesekali teriakan "wuuu" keluar dari mulut saya. Sesekali kami terpeleset, terperosok, tapi kemudian bangkit dan berlari kembali. Kesenangan masa kecil dulu yang telah lama hilang baru saja saya temukan kembali.

* * *

Langit Desa Senaru terlihat muram, sedikit mendung. Kami baru saja selesai mandi dan mengemas carrier untuk segera melanjutkan perjalanan pulang. Berakhir sudah perjalanan mewujudkan mimpi menggapai Plawangan Senaru waktu itu. Perjalanan serba tak terduga dengan begitu banyak keterkesanan. Keterkesanan mendalam yang tentu akan selalu lekat di angan. Keterkesanan akan bentang alam Rinjani yang begitu menakjubkan, keterkesanan akan antusiasme dan kegigihan teman-teman perjalanan saya, Bawa dan Yogi, juga keterkesanan pada segerombolan masyarakat sekitar kaki gunung yang hendak berpiknik di sekitar danau Segara Anakan.

Saya sempat menanyakan pada gerombolan tersebut akan menginap disana untuk berapa lama. Mendengar jawaban polos yang dilontarkan oleh salah seorang dari mereka membuat saya begitu takjub. "Mungkin sampai seminggu mas" sahutnya. Saya tidak bertanya lebih lanjut, kemudian berpamit untuk melanjutkan perjalanan pulang. Belum jauh melangkah, saya baru membatin,

"Apa yang mereka lakukan disana selama itu?"

"Apa yang mereka cari?"

Saya tidak berbalik arah untuk menanyakan kembali pertanyaan itu pada mereka. Tentu saja saya belum menemukan jawabannya sampai sekarang. Jawaban yang paling masuk akal menurut saya adalah "disana mereka bersenda gurau sepanjang hari sambil memancing, mencari ketenangan untuk melupakan sejenak keriuhan dunia dibawah sana." Tapi siapa yang tahu. Mungkin saja mereka memiliki agenda lain.

Belakangan, ketika sedang berada di kereta dalam perjalanan pulang ke Jogja, saya coba menanyakan pertanyaan yang sama pada diri sendiri. "Apa yang sedang saya lakukan? Menempuh ratusan kilo hanya untuk berpeluh memanggul beban berat di punggung, berjalan lunglai untuk menggapai puncak lalu turun kembali, belum lagi menahan gigil akibat dingin yang begitu menusuk. Apa yang sedang saya cari?".

Kalau saja pertanyaan seperti itu ditanyakan dulu sebelum saya melakukan perjalanan ke Rinjani, tentu saya akan menjawab dengan jawaban "menikmati keindahan alam" atau "belajar menyatu dengan alam."

Tapi perjalanan ini sedikit membukakan mata saya tentang kenikmatan lain dari sebuah pendakian. Kenikmatan lain selain segala keindahan yang tertangkap mata. Kenikmatan yang baru akan bisa dirasakan ketika kita sudah menempuh perjalanan itu sendiri. Keberadaan yang hadir mendahului makna.


George Mallory, seorang pendaki Inggris yang merupakan salah seorang anggota rombongan yang menginisiasi ekspedisi menggapai puncak Everest pada tahun 1921 berulangkali pernah ditanyakan hal yang sama ketika dia sedang mengumpulkan dana untuk mendukung ekspedisi pendakian puncak everest ketiga yang hendak dilakukannya pada tahun 1924. 

Pada sebuah artikel di New York Times, Mallory pernah menjawab.


"Why did You want to climb Mount Everest?"

"Because It's There. Everest is the highest mountain in the world, and no man has reached its summit. Its existence is a challenge. The answer is instinctive, a part, I suppose, of man’s desire to conquer the universe." begitu jawabnya pada suatu ketika.

Tentu saya tidak seambisius Mallory dalam hal penaklukan gunung. Cukuplah rasa nyaman dan kepuasan akan penaklukan diri sendiri menjadi alasan saya. Sensasi yang hampir setahun sudah tidak saya kejar lagi di gunung. Saya mengejarnya ditengah riuh bulaksumur sekarang. Mencoba menaklukkan rasa malas dan mengarahkan fokus pada tugas yang membentang di depan mata. Mengajar dan menyelesaikan tesis.

Semoga saya cukup beruntung untuk bisa mengejar sensasi itu ditempat saya mengenalnya pertama kali sesegera mungkin. Nanti, setelah saya menyelesaikan tesis.

Sampai jumpa, Rinjani.



Sampai Jumpa Rinjani