Senin, 21 Januari 2013

Halo Rinjani! (2): Gerbong Hangat Sritanjung

Sambungan cerita Rinjani Sang Provokator.


Waktu itu H-2 lebaran, saya memilih untuk berangkat dari Jogja dengan menumpang kereta Sritanjung. Kereta berangkat dari stasiun Lempuyangan pukul 7.30 pagi dan dijadwalkan untuk tiba di stasiun Banyuwangi Baru pukul 22.30. Itu merupakan kali pertama saya menumpang kereta untuk pulang ke Bali. Sedikit was-was sebenarnya, tapi tekad saya sudah bulat, kondisi keuangan saya sekarat, hanya itu pilihan satu-satunya agar dana yang ada mencukupi untuk saya bolak balik Jogja-Lombok.

Stasiun Lempuyangan merupakan stasiun awal keberangkatan kereta Sritanjung, jadi mendapatkan tiket duduk merupakan perkara yang sangat mudah waktu itu. Penjualan tiket untuk kereta ekonomi baru dilayani pada hari keberangkatan. Asal kita datang tidak lewat dari jam keberangkatan, tidak mungkin kita tidak kebagian tiket. Beda halnya dengan sekarang, tiket biasanya sudah habis paling tidak seminggu sebelum hari keberangkatan. Penyebab utamanya apalagi kalau bukan beberapa peraturan anyar yang baru-baru ini mulai diberlakukan oleh PT. KAI. Peraturan tentang pembelian tiket yang sudah boleh dilakukan tiga bulan sebelum hari keberangkatan, juga peraturan tentang keberadaan tiket berdiri yang sudah dihapuskan. Harapannya tentu untuk meningkatkan kenyamanan, agar semua penumpang yang membeli tiket mendapat tempat duduk.

Sayang peraturan begitu apik tidak didukung dengan perbaikan fasilitas oleh PT. KAI. Jumlah penumpang kereta ekonomi cenderung tetap bahkan meningkat dari hari ke hari. Idealnya, pembatasan jumlah penumpang yang boleh memasuki gerbong diikuti dengan penambahan jumlah gerbong sehingga penumpang yang jumlahnya cenderung meningkat tetap dapat terangkut. Mau dibawa kemana penumpang yang tidak kebagian tiket duduk? Pilihannya tentu berangkat pada hari lain yang berarti mengganggu jadwal mereka atau berangkat dengan moda transportasi lain yang tentu mengharuskan mereka untuk merogoh kocek lebih dalam. Sejauh ini kereta ekonomi masih menjadi primadona sarana transportasi rakyat sebab harganya yang sangat bersahabat.

Keberadaan kedua peraturan tersebut yang belum diimbangi dengan perbaikan fasilitas dan sarana pendukung yang ada tentu akan sedikit menyulitkan mereka yang memiliki budget terbatas dan harus melakukan perjalanan secara mendadak. Sangat kecil kemungkinan untuk bisa mendapatkan tiket kereta ekonomi secara langsung pada hari keberangkatan.



Kereta mulai bergerak, saya memilih untuk duduk dikursi yang ada di bagian selatan gerbong. Seorang penumpang tiba-tiba menyapa dan menanyakan apakah saya berasal dari Bali. Wajahnya terlihat asing, bagaimana dia tahu saya berasal dari Bali pikir saya. Belakangan baru saya tahu, ternyata dia melihat gelang benang yang saya gunakan. Gelang merah putih hitam yang ternyata juga melilit di pergelangan tangannya. Sama-sama orang Bali!. Kebetulan bangku disebelah masih kosong, saya mempersilahkannya untuk duduk disana.

Was-was yang sebelumnya menyelimuti seketika lenyap. Bertemu ‘saudara baru’ dalam sebuah perjalanan selalu mampu memberi efek tenang buat saya.

‘Saudara baru’ saya itu sudah beberapa kali pulang ke Bali dengan kereta. Dia banyak bercerita tentang pengalamannya ketika meumpang kereta Sritanjung selama perjalanan. Disela-sela obrolan, sesekali dia memutar-mutar rubik yang dibawanya. Permainan itu bisa diselesaikan dengan cukup mudah. Canggih!. Sebagai orang yang sudah cukup lama kenal kubus rubik namun belum sekalipun mampu menyelesaikan permainan tersebut, tentu saya banyak bertanya mengenai cara penyelesaiannya. Bahkan saya juga sempat mencatat rumus-rumus penyelesaian yang diajarkannya. Walau begitu, tetap saja sampai sekarang saya belum mampu untuk menyelesaikan permainan itu. Benar apa yang pernah disampaikan oleh kakek saya, ‘teori tanpa praktek itu sama dengan tidur’.

Perjalanan Jogja-Banyuwangi ketika arus mudik merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Sengatan mentari siang ditambah sumpeknya gerbong yang penuh sesak oleh manusia merupakan perpaduan sempurna untuk menghasilkan peluh yang jika dikumpulkan mungkin dapat memenuhi satu botol aqua besar. Beruntung segerombolan penumpang yang ada disekitar tak henti berkelakar. Guyonan-guyonan yang mereka lontarkan selalu mampu menghadirkan senyum bahkan deraian tawa dari penumpang lainnya. Panas menyengat seketika berubah menjadi hangat. Perjalanan panjang jadi tak terasa dengan kehangatan yang terjalin. Yang ada malah capek ketawa yang kemudian menghadirkan kantuk dan akhirnya menghasilkan tidur yang sangat pulas.

Tak terasa malam tiba, jadwal kedatangan kereta di stasiun ‘Banyuwangi Baru’ yang seharusnya pukul 22.30 melempas cukup lama menjadi sekitar pukul 00.30. Arus mudik yang begitu padat nampaknya juga ikut mengganggu jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api.

Lelah menggelayut sebenarnya, tapi saya memilih untuk melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Ketapang. Tanggung jika harus beristirahat di stasiun, istirahatnya nanti saja di rumah teman saya Gusur yang berjanji akan menjemput di pelabuhan Gilimanuk.

Sesampai di Gilimanuk, Gusur sudah menunggu disana. Selanjutnya kami menuju rumahnya di Melaya yang berada tidak terlalu jauh dari pelabuhan. Obrolan tentang gadis yang akan dilamarnya menjadi pengantar tidur kami subuh itu.

Keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan pulang ke Tabanan. Saya tidak singgah ke rumah. Maapkan anakmu Pak, Mak. Ada rasa sungkan jika pulang hanya mampir sebentar lalu malam harinya langsung berangkat menuju Lombok. Hal itu hanya akan membuat mereka merasa cemas atas pendakian yang saya lakukan. Lebih baik saya mohon doa restu dalam hati saja.

Sambil menunggu waktu keberangkatan, saya mempersiapkan perbekalan sambil memeriksa kembali peralatan yang diperlukan di rumah teman perjalanan saya nanti, Bawa. Malam tiba, semua perbekalan dan peralatan sudah lengkap, perjalanan ke Rinjani siap dimulai. 

Pelabuhan penyeberangan Padang Bay menjadi tujuan pertama kami. Butuh waktu hampir dua jam untuk sampai disana. Waktu itu H-1 lebaran, arus mudik masih cukup padat. Maka kami harus mengantri cukup lama sebelum bisa naik ke kapal Ferry yang akan kami tumpangi untuk menyeberang ke Lombok.

Diatas kapal begitu ramai, tidak ada lagi kursi yang bisa kami gunakan untuk sekedar duduk. Kamar-kamar yang disewakan untuk penumpang juga sudah penuh. Kami lalu membongkar carrier untuk mengambil matras kemudian menggelarnya dilantai sebagai alas tidur.

Bel kapal berbunyi, sudah waktunya untuk berangkat. Diperlukan waktu sekitar lima jam untuk menyeberang dari pelabuhan Padang Bay menuju pelabuhan Lembar di Lombok. Lelah membuat kami tertidur begitu lelap, sangat lelap malah. Tidur kami mungkin masih akan berlanjut jika saja tidak dibangunkan oleh suara bel kapal yang menandakan bahwa kami sudah sampai di pelabuhan Lembar Lombok.

Bersambung . . .