Senin, 30 Desember 2013

Pendakian Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung

Mulanya saya hendak menulis daftar perjalanan yang telah saya lakukan sepanjang tahun 2013. Eh, ketika membuka-buka kembali folder foto untuk tahun 2013, saya baru sadar kalau perjalanan-perjalanan epik yang masih membayang dikepala ternyata terjadi tahun 2012 yang lalu. Saya lupa kalau tahun ini saya lebih banyak berada di depan laptop dan berlembar jurnal yang harus dibaca untuk kepentingan menyelesaikan kuliah. Hanya ada satu perjalanan cukup epik tahun ini. Perjalanan mendaki Gunung Agung melalui jalur Pura Pasar Agung.

Begini ceritanya.

Saya berangkat bersama Yogi yang semakin menggila dalam urusan mendaki gunung dan seorang teman yang masih baru dalam urusan pendakian gunung waktu itu, Dian. Ini merupakan pendakian Gunung Agung ketiga saya, tapi merupakan yang pertama melalui jalur Pura Pasar Agung. Pada dua pendakian sebelumnya saya melalui jalur Pura Besakih.




Sehari sebelum pendakian saya mendapat sedikit gambaran tentang jalur pendakian yang akan kami lewati melalui video yang diunggah Hendra Wijaya pada channel youtube miliknya. Yogi juga memberikan bayangan lebih lanjut tentang kondisi jalur pendakian yang sudah menanjak tanpa ampun sejak awal. Dimulai dengan hutan basah, bebatuan besar kemudian ditutup dengan hamparan lava beku cukup panjang sampai di bibir kawah. Ancer-ancer waktu perjalanan yang diberikan Yogi untuk pendakian kali ini adalah tiga setengah jam. Biasanya waktu yang saya butuhkan molor sekitar 1 sampai 2 jam jika dibandingkan dengan ancer-ancer waktu yang biasa dia berikan. Fisik dan mental saya masih berada beberapa tingkat dibawahnya.

Tidak seperti dua pendakian Gunung Agung sebelumnya, tidak banyak persiapan yang saya lakukan pada pendakian ini. Jalur pendakian melalui jalur Pura Pasar Agung sedikit lebih pendek jika dibandingkan dengan jalur Pura Besakih, jadi kami tidak perlu menginap di badan gunung untuk menggapai puncak.

* * *

Malam pendakian tiba, hujan belum juga henti mengguyur semenjak petang. Saya mulai sedikit ragu akan pendakian ini. Beberapa kali saya menanyakan pada Yogi mengenai kemungkinan untuk membatalkan pendakian. Sebagai penganut fanatis pepatah "Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai," tentu hanya ada satu pilihan yang ditawarkan Yogi, berangkat!. “Paling disana terang” begitu pesannya sebelum kemudian saya menjemputnya untuk bersama-sama berangkat ke Denpasar menjemput Dian lalu melanjutkan perjalanan ke Bali timur menuju Karangasem.

Kabut begitu tebal ketika kami sampai di wilayah Karangasem. Hujan masih mengguyur, sesekali mereda, tapi tidak lama sudah deras lagi. Jalanan begitu sepi, mungkin baru sepuluh menit sekali kami berpapasan dengan satu kendaraan. Penerangan jalan yang minim membuat saya melaju kendaraan dengan pelan, mungkin hanya 40 km/jam. Dengan berjalan pelan saja, beberapa kali saya hampir menabrak sesuatu dan salah memilih jalur. Sedikit khawatir sebenarnya, tapi terselip sedikit kesenangan juga disana.

Sekitar dua setengah jam perjalanan, kami sampai di parkiran Pura Pasar Agung. Waktu itu sekitar pukul 1 dini hari. Hujan masih awet. Tidak ada penerangan di sekitar areal parkir, sangat gelap. Hanya tampak cahaya remang di kejauhan.

Awalnya saya hendak menghampiri sumber cahaya yang ada di sisi timur tempat parkir sekedar untuk bertegur sapa dengan mereka yang ada disana, tapi dingin begitu menusuk membuat malas beranjak. Jadilah nyingkrung di dalam mobil menjadi pilihan kami sebelum memulai pendakian.

* * *

Lamat suara obrolan terdengar mulai mendekat, jejeran lampu senter tampak mulai bergerak dari rumah yang ada di bagian timur tempat kami parkir. Saya melihat jam, sudah pukul 2, kami lalu bergegas dan bergabung dengan rombongan yang melintas.

Pendakian dimulai. Perjalanan diawali dengan menyusuri tangga, cukup panjang. Kalau tidak salah, membutuhkan 20 menit untuk mencapai ujung paling atas tangga yang juga merupakan areal jaba dari Pura Pasar Agung. Trek berikutnya adalah tanah licin ditengah hutan basah. Benar apa yang disampaikan Yogi, jalur ini hanya sedikit memberikan bonus, menanjak tanpa ampun. 

Malam itu banyak turis asing yang juga melakukan pendakian. Dengan mudahnya mereka melewati kami kemudian hilang ditelan gelap. Andai malam itu Yogi tidak bersama saya dan Dian, tentu dia akan berpacu bersama turis-turis asing itu.

Jalur hutan basah berganti bebatuan besar setelah Telaga Mas. Masih tetap menanjak, tanpa ampun. Pandangan disini sudah sedikit terbuka, tapi belum terlalu lapang. Masih ada pepohonan disekitar, namun tidak selebat sebelumnya.

Kerlip lampu senter para turis sudah tak tampak lagi, apalagi suara obrolan mereka. Nampaknya mereka sudah meninggalkan kami cukup jauh. Perlahan kami memanjati bebatuan yang ada. Secara bergilir saya dan Yogi mendampingi Dian. Staminanya sedang kurang prima waktu itu, mungkin masih kelelahan sepulang dari pendakian Batur beberapa hari sebelumnya.

Sekitar dua jam perjalanan menyibak hutan, akhirnya kami bertemu pandangan lapang didepan mata. Cadas lava Tohlangkir begitu gumam saya dalam hati. Saya teringat judul salah satu album foto Yogi di laman facebooknya. Jalur ini masih sama dengan jalur-jalur sebelumnya, minim bonus.

Perlahan saya menanjak bersama Dian. Kali ini Yogi hilang entah kemana. Nampaknya dia sedang tidur, entah dimana. Dia sering begitu, meninggalkan teman sependakian tidur jika sedang merasa bosan akan pendakian yang berjalan lambat. Tapi dia enggan kalau meninggalkan teman sependakian terlalu jauh dibelakang. Jadilah tidur menjadi pilihannya.

Belum juga separuh perjalanan menyusuri lava dingin, langit timur sudah mulai memerah. Pandangan disekitar mulai tampak jelas, bibir kawah juga terlihat sudah lumayan dekat. Sambil sesekali mengabadikan gambar kami melanjutkan perjalanan. Satu jam berselang, kami mulai berpapasan dengan beberapa pendaki yang sudah melakukan perjalanan turun.

Meski agak siang, puncak berhasil kami gapai. Sudah tidak ada orang lagi di atas, hanya kami bertiga. Di kejauhan tampak orang melambai-lambaikan tangan dari puncak tertinggi di bibir kawah bagian barat. Dian lebih banyak diam awalnya, dia memilih berlindung dibawah batu besar sementara saya dan Yogi melihat-lihat sekitar. Senang rasanya berhasil mengantarkan Dian sampai puncak setelah perjalanan begitu melelahkan yang kami lalui.

Beruntung cuaca sangat bersahabat untuk menghadirkan pemandangan epik waktu itu. Rinjani tampak gagah menjulang menembus awan di ufuk timur, awan putih berarak mulai arah tenggara sampai barat daya. Dasar kawah juga terlihat jelas dari bibir kawah tempat kami beristirahat.

Kami menyantap perbekalan yang ada sambil sesekali dikejutkan oleh ulah monyet yang hendak mengambil bekal yang kami keluarkan. Sesekali saya coba menghalaunya dengan memukulkan kayu di tanah. Sesekali mereka terkaget lalu berlari namun mereka lebih sering menyeringai. Monyet-monyet sekarang jadi lebih agresif, menurut relawansatwa, ada dua penyebab fenomena tersebut. Pertama, kebiasaan buruk memberi makanan pada kera, mengenalkan makanan manusia pada satwa liar. Dan kedua, karena kebiasaan membuang sampah sembarangan. Sampah yang kita buang di alam terbuka seringkali masih mengandung sedikit sisa makanan, dari sinilah kera-kera itu berkenalan dengan peradaban manusia dan berulah. Nah, dari situlah muncul pesan yang dikampanyekan oleh teman-teman di relawansatwa: JANGAN MEMBERI MAKAN PADA SATWA-SATWA LIAR, MEREKA BISA MENCARI MAKANANNYA SENDIRI!

Sekitar sejam kami berada di puncak sebelum memulai perjalanan turun. Perjalanan menurun akan menjadi perjalanan begitu menyenangkan bagi sebagian orang, tapi juga dapat menjadi perjalanan yang sama melelahkannya seperti ketika menanjak bagi sebagian orang lainnya. Beberapa teman begitu menyukai perjalanan menuruni lereng gunung. Mereka berlari, melompat kesana sini bahkan berperosotan ketika memungkinkan. Beberapa kali saya ikut melakukan kegilaan seperti itu ketika mendaki bersama teman-teman yang sedikit gila. Karung, Yogi, Bawa, Wawan, Ikbal, Zain, Dwi dan Adi berada di deret teratas orang-orang yang mengajarkan kegilaan tersebut. Beberapa teman lainnya memilih untuk menikmati perjalanan menurun dengan santai. Mba Lina, Mba Umay dan Fatur merupakan tiga diantaranya. Mereka tidak terbiasa berlari, maka berjalan santai sambil bercengkrama tentang apa saja menjadi pilihan cara menurun mereka. Saya menikmati keduanya, berlari maupun berjalan santai kadar kesenangannya tetap sama, sejauh semua teman perjalanan sampai dibawah dengan selamat.

Lereng menurun pada jalur lava beku begitu terjal. Rata-rata kemiringannya mungkin sekitar 70°. Di beberapa bagian bahkan ada tebing vertikal 90° derajat mungkin setinggi 3 meter. Dian tampak belum lugas dalam menapakkan kaki, dia masih sedikit ragu-ragu. Perlahan saya menemaninya sepanjang perjalanan menurun. Entah berapa kali dia menyampaikan permintaan maaf karena telah merepotkan. Beberapakali dia juga meminta saya untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Yogi karena tidak enak hati telah memperlambat perjalanan. Dalam sebuah kesempatan, dia sempat berujar, 

“Kenapa mesti buru-buru? kan udah capek-capek naik, terus pemandangannya juga bagus banget.”

Betul juga pikir saya. Kamipun berbaring sejenak ditempat rindang dibawah pohon yang tumbuh disela-sela lava beku.

Sebenarnya ada rasa tidak sabar untuk mencapai kaki gunung dalam setiap perjalanan menurun yang saya lakukan. Ketidaksabaran untuk meraih kelegaan berikutnya setelah berhasil menggapai puncak. Belum lagi jika orang tua saya mengetahui perihal pendakian yang saya lakukan. Ada yang mengganjal rasanya jika saya tidak berkabar pada mereka sesegera mungkin. Orang tua saya lebih sering begitu ketika mengetahui saya hendak mendaki gunung. Khawatir, walau akhirnya mengijinkan, tapi dengan sedikit bonus muka masam.

Dari tempat kami beristirahat, jalur bebatuan besar sudah dekat. Puas rebahan kami melanjutkan perjalanan. Kali ini saya ingin sedikit memacu adrenalin dengan berlari, melompat mungkin juga sesekali berperosotan. Jadilah saya berjalan mendahului Dian. Kali ini Yogi ganti menemani Dian sampai di Telaga Mas sebelum kemudian meninggalkan kami cukup jauh sampai akhirnya tertidur cukup lama di wantilan yang ada di sebelah barat Pura Pasar Agung.

Sinyal Hp mulai bersahabat disekitaran pura, saya langsung berkabar pada orangtua di rumah. Pertanyaan Dian masih terngiang dalam perjalanan pulang waktu itu. “Kenapa mesti buru-buru? kan udah capek-capek naik, terus pemandangannya juga bagus banget.” Saya belum memberikan jawaban ketika itu, mestinya saya menjawab dengan rangkaian kalimat seperti yang ada pada paragraf kedua sebelum paragraf ini.

Rasanya saya juga harus menanyakan pertanyaan ini pada Yogi, sesegera mungkin.


N.B
Foto-foto perjalanan dapat dilihat pada set Flickr ini.