Minggu, 30 Juni 2013

Kalau Jodoh, Tidak Akan Pergi Kemana

Aku sedang "nyongkok" di kamar mandi ketika rangkaian cerita ini muncul di kepala. Kisah lanjutan setelah membaca cerita pendek Haruki Murakami yang berjudul On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April.

Begini ceritanya.

Waktu itu aku sedang berpapasan dengan seorang gadis yang sekiranya merupakan gadis yang 100% sempurna untukku. Tapi bukan di pinggir jalanan sempit Harajuku—seperti latar pertemuan kedua tokoh dalam cerpen Haruki Murakami—, di emper toko Mirota Batik yang ada di seberang pasar Bringharjo.

Dia mengenakan flat shoes putih dan baju terusan tanpa lengan dengan motif bunga berwarna coklat muda. Dia tidak seberapa cantik. Entah dia adalah tipe gadis kesukaanku. Aku bahkan tidak ingat terlalu banyak tentang dia—seperti bentuk mata atau ukuran dadanya. Aneh, sungguh aneh.

Pertemuan sekelebat pandang mata itu berlalu begitu saja. Aku melanjutkan berjalan ke arah utara, dia ke selatan.

Ada sedikit penyesalan selanjutnya. Mengapa aku lewatkan pertemuan itu begitu saja. Seharusnya aku membalikkan badan lalu menyapa untuk sekedar bertanya nama atau mungkin berbagi kontak sehingga pertemuan itu tidak berakhir disana.

Seperti biasa, aku selalu menyempatkan untuk mampir membeli lumpia di warung yang ada di emper hotel Mutiara ketika sedang berjalan-jalan di seputaran Malioboro. Sambil menunggu pesanan, ingatanku masih tertaut pada gadis itu. Lamunanku semakin jauh.

Andai tadi aku menghampirinya. Mungkin akan kumulai dengan berbasa-basi menanyakan waktu. Ah, tapi itu akan terkesan konyol. Di tangan kiriku melingkar jam hitam kesayangan. Atau aku langsung pada sasaran saja mengajak berkenalan lalu menawarkan untuk santap siang di lantai tiga mirota batik. Bagaimana jika ternyata dia sudah makan? Tawaranku akan ditolaknya mentah-mentah. Mungkin menemaninya berjalan lalu berbincang kecil tentang tempat dia sedang melanjutkan kuliah merupakan pilihan yang baik. Ah, itu juga kalau dia memang sedang kuliah.

Entah berapa orang sudah datang dan pergi duduk disebelahku menyantap lumpia. Dua lumpia ayam pesananku masih belum habis juga. Melamun selalu melambatkan kerja didepan mata. Tapi akhirnya aku temukan juga jurus ampuh untuk menyapa gadis itu. Mungkin ini akan menjadi pidato yang sangat panjang, membosankan, bisa jadi akan jatuh membingungkan. Tapi cara ini rasanya merupakan pilihan terbaik yang bisa aku lakukan. Nantinya cerita itu akan kumulai dengan "Pada suatu hari" dan akan diakhiri dengan "Cerita yang sedih bukan?"

***

Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, gadis itu juga, tidak terlalu cantik. Mereka adalah muda-mudi kebanyakan yang cenderung kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.

Suatu hari pemuda dan gadis itu tidak sengaja berjumpa di ujung jalan.

“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”

“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”

Kebetulan yang tidak terduga. Mereka lalu melanjutkan perbincangan di bangku taman yang berada tidak jauh dari tempat mereka bertemu. Mereka membicarakan apa saja, hobi si gadis berenang dipantai, kemampuan renang si pemuda yang hanya sepanjang lima puluh meter, ayah si gadis yang sebenarnya kurang setuju dia kuliah di jurusan sastra, juga tentang masa kecilnya yang begitu menyenangkan di desa.

Mereka tidak tampak seperti orang yang baru kenal. Obrolan mereka begitu cair dan penuh canda. Namun sejatinya masih ada sedikit ragu menggantung di dada si pemuda. Apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya? Akhirnya pemuda itu memutuskan untuk mengakhiri perjumpaan mereka dengan melambaikan tangan sambil berucap dalam hati "Kalau jodoh, tidak akan pergi kemana."

Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa empat belas tahun sudah semenjak pertemuan mereka. Kehidupan si pemuda berjalan sesuai harapan. Rasanya dia sudah berada ditempat yang diimpikannya sekarang. Menjadi penulis dan mendapat tempat terpandang di masyarakat. Semua butuh perjuangan dan kerja keras tentunya. Dia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk tujuan yang hendak dicapai. Setiap pagi dia biasa menulis selama empat, lima, enam jam lalu berhenti. Lalu dia akan melanjutkan tulisan keesokan harinya. Saat dia menulis novel, dia selalu bangun pukul empat pagi dan bekerja selama lima sampai enam jam. Di sore hari, dia jogging sejauh sepuluh kilometer atau berenang sejauh 1500 meter (atau melakukan keduanya). Lantas menghabiskan waktu membaca atau mendengarkan musik. Dia selalu berusaha untuk tidur pukul sembilan malam. Hal itu dilakukannya setiap hari secara rutin.

Di suatu pagi yang cerah di hari ulang tahun si pemuda yang ke tiga puluh dua, dia sedang berjalan di Pasar Klewer hendak memberi hadiah suasana emper sepanjang jalan Malioboro tempat dimana dia biasa melepas lelah ketika kuliah dulu untuk dirinya sendiri. Dia sedang berjalan di sebuah lorong hendak menuju utara ke arah alun-alun. Dia berpapasan dengan seorang gadis yang mengenakan terusan berlengan dengan motif kembang dan sepasang flat shoes berwarna abu-abu.

"Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku."

Keyakinannya membisikkan, gadis itu pasti mengucapkan kalimat yang sama dalam hatinya.

"Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku."

Sayang, gebu di dada si pemuda sudah tidak sekencang empat belas tahun saat pertama kali pemuda itu bertemu dengan si gadis. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka hanya sekelebat berbalas pandang sambil tetap melanjutkan langkah kemudian hilang di tengah keramaian. Selamanya.

Kalau jodoh, tidak akan pergi kemana nyatanya hanya sebatas rangkaian kata tanpa makna belaka bagi pemuda dan gadis itu. Cerita yang sedih bukan?

* * * 

Rasa-rasanya jauh lebih bermakna meminta maaf kepada teman kos karena harus menunggu giliran kamar mandi begitu lama sampai tertidur pulas di kursi rendah yang ada tidak jauh dari kamar mandi.



CATATAN:
1. Cerita ini merupakan cerita saduran dari cerpen On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April karya Haruki Murakami yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Maggie Tiojakin di tautan ini.

2. Kalimat "Setiap pagi aku biasa menulis selama empat, lima, enam jam lalu berhenti" dan seterusnya pada paragraf tersebut saya kutip dari hasil terjemahan Maggie Tiojakin atas penggalan wawancara yang pernah diterbitkan The Paris Review dengan Haruki Murakami seperti terdapat pada tautan ini.

3. "Nyongkok" merupakan kata dalam bahasa Bali yang berarti "jongkok" dalam bahasa Indonesia.