Rabu, 12 Februari 2014

Memaknai Perjalanan

Ada perbincangan cukup hangat di sub forum OANC kaskus yang baru saya temukan. Perbincangan tentang alasan melakukan sebuah perjalanan mendaki gunung. Perbincangan dimulai oleh dede.muchsaw yang memposting ulang tulisan "Mendaki Gunung, Hobby yang Sia-sia" yang didapat dari laman kompasiana Tengku Bintang.

Tulisan Tengku Bintang sebenarnya sudah cukup lama diposting di laman kompasiana, tanggal 22 April 2012, sehari setelah meninggalnya Wamen ESDM Alm. Widjojono S dalam pendakian yang dilakukannya di gunung Tambora. Nampaknya Tengku Bintang sedang begitu kesal akan apa yang dinamakan dengan hobby mendaki gunung waktu itu, nada kesal tersebar rata di sepanjang tulisannya.

Berikut saya kutipkan potongan tulisan dari Tengku Bintang.
Mendaki gunung termasuk hobby yang merepotkan, baik untuk diri-sendiri maupun orang lain. Tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Memang kenapa kalau sudah menginjakkan kaki di puncak gunung? Kilimanjaro atau Himalaya sekalipun? Apa ada gunanya? Paling-paling menancapkan bendera mini tanpa tujuan yang jelas, lalu berphoto-photo, begitu turun banyak cerita. Soal situasi puncak gunung sampai kandungan bahan tambang di atas sana, tak kurang-kurang pesawat terbang atau satelit bisa menyajikan informasi, sampai potret lobang semut bisa kelihatan. Hasil kerja pendaki gunung tak pernah digunakan secara signifikan sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan.

Beribu-ribu pendaki gunung di seluruh dunia menemui ajal di lereng gunung demi memuaskan nafsu petualangannya. Tersesat, terjatuh, digigit ular, dicakar beruang, dan lain sebagainya. Tulang belulang mereka berserakan di jurang-jurang hingga kini (mungkin). Masih beruntung Wamen ESDM, karena jabatannya yang tinggi semua pihak segera memberi pertolongan, tanpa memperhitungkan tenaga dan biayanya. Pesawat dan mobil ambulan segera meluncur. Semua pejabat negara, termasuk Presiden SBY menyampaikan belasungkawa yang mendalam.

Sesungguhnya, itu pekerjaan yang sia-sia.

Beberapa waktu yang lalu kegelisahan serupa sempat melanda saya. Saya mulai mempertanyakan pendakian yang begitu sering saya lakukan pada tahun 2010 sampai 2012 yang lalu. "Untuk apa? Mengapa saya melakukannya?" begitu pertanyaan yang sering muncul di kepala. Beberapa teman sependakian juga sempat saya tanyakan perihal tersebut. Maya dan Yogi merupakan dua diantaranya.

Maya adalah sosok wanita begitu perkasa dan penuh dedikasi terhadap hobinya yang satu ini. Pernah suatu kali dia meninggalkan kewajibannya untuk menyelesaikan revisi proposal tesis untuk melakukan serangkaian perjalanan yang membikin saya gigit jari. Ke Flores, Bali, Bromo, kemudian diakhiri dengan mendaki Semeru. Waktu itu, kalau tidak salah ketika kami sedang makan di warung nasi uduk yang ada di selatan Bank Mandiri UGM, iseng saya bertanya padanya

"Apa alasan kamu begitu menggila dalam hal pendakian Gunung May?" begitu kurang lebih pertanyaan saya.

"Masalah passion Te, seperti ada yang selalu memanggil setiap ada kesempatan untuk melakukan sebuah pendakian" begitu kira-kira jawaban Maya waktu itu.

Pertanyaan sedikit berbeda sempat saya tanyakan pada teman saya Yogi.

"Apa tidak bosan Di melakukan pendakian gunung, polanya kan sama, segitu-segitu saja" tanya saya pada suatu ketika.

"Selalu ada yang berbeda Te dalam setiap pendakian, terutama gunung-gunung yang belum pernah dikunjungi. Selalu ada tantangan baru, mencari informasi tentang kondisi jalur pendakian, ada tidaknya sumber air, menentukan berapa banyak perbekalan yang akan dibawa, juga angkutan yang bisa digunakan untuk bisa mencapai kaki gunung." begitu jawabnya.

* * *

Saya mulai mengenal kegiatan mendaki gunung ketika duduk di bangku SMA. Seorang sahabat yang kini telah berpulang, Almarhum Kayun yang mengenalkannya pada saya. Waktu itu alasan saya melakukan pendakian cuma satu, "gradag-grudug" bersama teman-teman. Begitu banyak kesenangan waktu itu, cekikikan di tengah gigil sambil menunggu matahari terbit, mentertawakan nafas kami yang baru beberapa menit perjalanan sudah ngos-ngosan, pernah juga suatu ketika saya dan seorang teman melakukan lomba lari untuk mendaki sebuah bukit tak berpenghuni, kemudian menamai bukit itu sekehendak hati pemenang lomba, seolah-olah si pemenanglah yang pertama kali menginjakkan kaki di puncak bukit itu. Tanpa beban rasanya, mungkin hanya tas punggung yang kami gendong yang menjadi beban waktu itu.

Ada sedikit perbedaan kadar kesenangan antara pendakian yang saya lakukan sewaktu SMA dengan beberapa pendakian yang begitu sering saya lakukan beberapa tahun terakhir. Pendakian sewaktu SMA dulu memiliki kadar kesenangan yang sedikit lebih banyak. Rasanya perbedaan jumlah beban yang menggantung di kepala lah yang menjadi penyebabnya. Dulu, belum ada itu yang namanya beban menyelesaikan tesis juga beban memikirkan Bapak yang sedang cemas akan pendakian yang saya lakukan.

Sewaktu SMA dulu hanya satu gunung yang begitu sering saya daki, gunung Batur. Jarak kaki gunung Batur dari Tabanan mungkin sekitar 2,5 jam perjalanan. Waktu itu saya dan teman-teman biasanya memulai perjalanan menuju Batur pukul 11 malam. Tidak pernah Bapak mengkhawatirkan perjalanan yang saya lakukan, malah saya selalu diantar sampai depan rumah dengan penuh suka cita, disangu agak banyak pula, jadi tidak pernah terlintas di kepala kalau Bapak sedang menunggu kedatangan saya dengan cemas. Entah kapan tepatnya perubahan cara pandang Bapak terjadi. Mungkin ini ada kaitannya dengan kuliah saya yang sedikit terbengkalai. Bisa jadi Bapak merasa kegiatan mendaki gunung yang sering saya lakukan memiliki andil dalam membengkalaikan kuliah saya, tapi entahlah. Nanti coba kita lihat jawaban dari hipotesa ini setelah saya resmi dinyatakan lulus ujian tesis.

* * *

Pada cerita perjalanan mendaki Rinjani "Pos Cemara Pelangi" dan "Because It's There", saya sempat menuliskan pembenaran yang belakangan baru saya temukan setelah perjalanan berat selama empat hari tiga malam yang saya lakukan waktu itu.

Berikut saya kutipkan pembenaran yang sebelumnya pernah saya tuliskan pada kedua cerita perjalanan tersebut.
Saya kembali teringat akan perjalanan yang pernah hinggap di mimpi waktu itu. Kali ini saya belum cukup beruntung untuk bisa menikmati sunrise di Plawangan Senaru. Mungkin lain kali. Sebuah pendakian akhirnya bukan hanya sekedar pemenuhan hasrat untuk menikmati keindahan bagi saya. Tapi lebih dari itu, ada pembelajaran tentang kerjasama juga meredam sifat 'aku' disana. Fisik boleh dilatih dengan melakukan olah fisik. Tapi bagaimana dengan mental? Bagi saya salah satu caranya dengan memberi dia pilihan tersulit, sehingga terpaksa harus melakukan hal yang tidak biasa dilakukan. Coba saja berikan kondisi seperti ketika kami sedang berdebat di tempat datar sebelum pos cemara lima pada mereka yang tidak biasa mengalah. Apa mereka akan tetap ngotot untuk bermalam di tempat datar sebelum cemara lima seorang diri, tanpa tenda juga perbekalan seadanya?. Meski ada unsur terpaksa, tapi toh juga kita jadi tetap belajar untuk mengalah. Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Lakukan itu berulang-ulang maka nanti juga akan jadi kebiasaan, akan menjadi bagian dari karaktermu, watakmu.
Tentu saya tidak seambisius Mallory dalam hal penaklukan gunung. Cukuplah rasa nyaman dan kepuasan akan penaklukan diri sendiri menjadi alasan saya. Sensasi yang hampir setahun sudah tidak saya kejar lagi di gunung. Saya mengejarnya ditengah riuh bulaksumur sekarang. Mencoba menaklukkan rasa malas dan mengarahkan fokus pada tugas yang membentang di depan mata. Mengajar dan menyelesaikan tesis.

Melatih mental, mungkin itu benang merah dari dua kutipan diatas. Belajar bekerja sama, meredam sifat aku, juga menaklukkan rasa malas. Kalimat yang mustahil rasanya terucap seandainya saya sudah berhenti melakukan pendakian selepas SMA.

Belakangan ketika membaca kembali kedua kutipan diatas lalu membandingkannya dengan kondisi sekarang, rasanya apa yang saya sampaikan diatas jadi terasa sedikit muluk. Bagaimana tidak, wong sampai sekarang—jangankan untuk hal-hal njlimet seperti mengerjakan tesis—untuk rajin bersih-bersih kamar, mencuci pakaian juga mencuci wajah sebelum tidur saja saya masih susah.  

Tapi dulu, kira-kira enam bulan pasca pendakian Rinjani—ini beneran terjadi, tidak muluk-muluk—saya merasa ada perubahan cukup berarti pada diri saya. Saya jadi jarang menunda pekerjaan. Kalimat setan “ah, masih bisa dikerjakan nanti” langsung berganti kalimat tuhan “kalau bisa dikerjakan sekarang, kenapa harus nanti.” Kamar saya jadi lebih sering terlihat rapi, cucian juga tidak pernah menggunung, wajah pun jadi terlihat lebih mulus akibat jerawat yang mulai malas hinggap semenjak saya mulai menabukan perihal tidak mencuci muka sebelum tidur.

Entah perubahan itu ada kaitannya dengan perjalanan ke Rinjani. Yang jelas kira-kira setelah memasuki bulan ke tujuh pasca pendakian Rinjani kalimat setan “ah, masih bisa dikerjakan nanti” kembali menjadi tuan.

* * *

Ada dua respon menarik terhadap tulisan Tengku Bintang yang saya temukan di Kaskus, oleh agan goposmile dan ipanaipan. Satunya agak serius, satunya lagi agak ngocol, khas Kaskus.

Begini pendapat agan goposmile.
Ane suka mendaki gunung bukan tanpa sebab.
Dan banyak keuntungannya ketika mendaki gunung:
1. Ane belajar disiplin terhadap waktu, belajar memulai perencanaan dan persiapan dengan matang.
2. Memulai segala aktifitas pendakian bersama doa yang mengiringi. Spontanitas ketika nafas terengah-engah seketika doa terucap gan. Ane jadi merasa dekat bgt sama Sang Pencipta pas di moment tsb.
3. Ane ngerasa terkadang kehidupan tidak menerima kita dengan tangan terbuka, tp ane ngerasa alam selalu menerima kita dgn tangan terbuka. Ane ngerasa damai gan
4. Fisik kita jadi lebih kuat gan dan kita belajar bagaimana alam memaksa kita untuk mengerti, bahwasanya alam diciptakan bukan tanpa tujuan, melainkan memberikan pelajaran kepada kita untuk tetap bersyukur
5. Sepanjang ane daki gunung, bertemu dengan para pendaki lain ibarat bertemu sodara, benar benar penuh solidaritas dan rasa kekerabatan yang erat
Nah, berikut sabda dari agan ipanaipan.
Mendaki Gunung Itu Bukan Hobi atau Pun Kegiatan Yang Sia-sia Gan,...
Tapi Itu kutukan ,...
Kalo Ga Percaya Cobain Aja,...
tapi Saya Ga Tanggung Jawab Kalo Situ Di Kutuk Untuk Menjadi Pendaki Ya,...
* * *

Beberapa alasan seseorang melakukan sebuah pendakian yang saya sampaikan diatas tentu belum mampu memenuhi kriteria Tengku Bintang agar sebuah hobby dapat dikatakan tidak sia-sia. Dari lima alasan yang saya sampaikan, tidak satupun yang "dapat digunakan secara signifikan sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan" seperti yang diharapkan Tengku Bintang. Jika kriteria tersebut yang dijadikan patokan kenapa sebuah hobby dapat dikatakan tidak sia-sia, tentu akan sangat jarang hobby yang dapat dikatakan tidak sia-sia. Silahkan sebut sembarang hobby, bersepeda, memancing, bermain sepak bola, lalu tanyakan dampaknya bagi ilmu pengetahuan.

Bagi saya, rasanya tugas "dapat digunakan secara signifikan sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan" terlalu besar untuk disematkan sebagai alasan untuk menjalankan sebuah hobby. Biarlah manfaat-manfaat kecil—meskipun tidak bertahan lama—untuk diri sendiri dulu yang menjadi alasan saya menjalankan sebuah hobby. Kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuannya saya berikan di tempat lain saja.


Catatan:

"gradag-grudug" merupakan terminologi dalam bahasa Bali yang dapat berarti bersenang-senang bersama gerombolan teman.