Rabu, 06 Maret 2013

Halo Rinjani! (3): Pos Cemara Pelangi

Sambungan dari cerita Gerbong Hangat Sritanjung.

Beberapa tahun yang lalu saya melihat foto Yogi di Plawangan Senaru di halaman facebook miliknya. Dengan cengir khasnya dia berpose sambil memegang tangan seorang bapak. Gara-gara foto itu, saya jadi rajin mengetikkan kata kunci “Plawangan Senaru” juga “Rinjani” di mesin google. Rinjani adalah Plawangan Senaru begitu kesimpulan naif saya waktu itu. Tentu ada rasa penasaran dibalik setiap pencarian. Beruntung google bisa sedikit mengobati melalui beberapa artikel perjalanan juga foto-foto yang saya dapat dari tautan yang diberikannya.

Sampai akhirnya perjalanan impian itu hadir menjadi bunga tidur. Perjalanan menembus hutan Senaru kemudian menyaksikan detik-detik memerahnya langit timur dari Plawangan Senaru. “Dahaga ini mesti terpenuhi suatu saat nanti”, saya membatin ketika terbangun.

Imaji tentang keindahan yang pernah hadir di mimpi itulah yang terus membayang sesampainya saya di pelabuhan Lembar Lombok. Gambaran tentang detik-detik memerahnya langit timur dari Plawangan Senaru juga kokohnya gunung baru jari di tengah kaldera Rinjani. Sebuah mimpi yang akan mewujud nyata. Menyaksikan dan menikmati langsung keindahan yang selama ini begitu lekat di angan.

* * *
Pagi masih muda, langit berselimut mendung, pucat dan muram. Lambaian nyiur juga debur ombak begitu setia menemani perjalanan kami menyusuri jalanan di pantai utara Lombok.

Tujuan pertama perjalanan sesampai di Lombok adalah pos pendakian Senaru. Dari Mataram kami menuju ke arah utara, menyusuri jalanan yang ada di pinggir pantai utara Lombok. Dalam itinerary yang disiapkan Yogi waktu itu, perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih 3 jam.

Yogi melaju motor dengan kecepatan maksimal. Beberapa kali dia gagal menghindari lubang menganga yang ada. Nampaknya Bawa juga mengalami hal yang sama, velg motornya sampai retak.

Di kejauhan tampak sebuah pom bensin, pas untuk tempat beristirahat sambil memikirkan rencana selanjutnya. Mustahil rasanya untuk melanjutkan perjalanan sampai basecamp pendakian dengan kondisi roda seperti itu.

“Coba cari bengkel di desa Kahyangan mas, sudah dekat kok dari sini” ucap petugas pom bensin tempat kami beristirahat.

Perlahan motor kami laju untuk mencapai Desa Kahyangan. Benar sudah dekat ternyata.

Waktu itu lebaran hari pertama, masih pagi juga, sekitar pukul 8. Desa masih terlihat sepi. Beruntung kami menemukan bengkel tidak jauh dari ujung desa. Masih belum nampak ada tanda kehidupan disana. Kami lalu coba mengetuk pintu dan memanggil-manggil seandainya ada orang didalam. Seorang bapak lalu keluar dan menyapa. Bapak inilah yang selanjutnya menjadi penyelamat kami dengan mengantarkan ke tempat tukang las yang ada di desa tersebut.

Hari lebaran, tentu para pekerja sedang libur. Mereka baru mulai bekerja dua hari lagi. Maka mau tak mau kami harus menitipkan motor Bawa disana. Diambilnya nanti saja ketika perjalanan pulang.

Hujan turun begitu lebat. Saya dan Yogi tiba lebih dulu di basecamp pendakian di desa senaru. Bawa lalu menyusul, dia menumpang ojek untuk sampai disana setelah sebelumnya menumpang angkutan pedesaan untuk sampai Terminal Senaru.

Rencana perjalanan kami nampaknya akan sedikit meleset dari waktu yang ditentukan. Mencari tempat tukang las di desa Kahyangan tadi juga menunggu mobil angkutan untuk mengantarkan Bawa sampai ke Terminal Senaru memakan waktu mungkin hampir 2 jam.

Kami beristirahat sebentar di sebuah baruga–sebutan untuk gazebo di lombok, paling tidak untuk memulihkan kembali stamina setelah perjalanan melelahkan yang baru saja kami tempuh.

* * *

Ladang penduduk yang lumayan panjang jadi arena pemanasan kami sebelum tiba di pintu hutan Senaru. Disana kami bertemu beberapa turis yang baru saja keluar dari pintu hutan. Dengah senyum sumringah mereka saling berpelukan ala pemain basket yang baru saja melakukan slamdunk. “Hore! sebentar lagi kasur empuk dan mandi air hangat akan menyambut” mungkin begitu yang ada di benak mereka.



Hujan tinggal rintik, kami memulai perjalanan memasuki hutan Senaru. Jalur setapak hutan Senaru merupakan jalur yang cukup lebar, mungkin ada sekitar lima meter, lengkap dengan pos peristirahatan mungkin hampir setiap 1 km perjalanan. Tentu saja kami selalu menyempatkan beristirahat di setiap pos yang kami lewati. Sekedar untuk berhaha hihi bersama pendaki lain sambil mengisi perut dengan menyantap perbekalan.

Langit sudah mulai tua, kami sedang makan besar di pos yang ada di ujung hutan. Beberapa pendaki tampak sudah mendirikan tenda di sekitar pos. Lelah yang menggelayut hampir saja berhasil merayu agar kami ikut mendirikan tenda disana. Beruntung imaji tentang sunrise di Plawangan Senaru mampu mengalahkan rayuan lelah yang begitu menggoda.

Perjalanan selanjutnya adalah menyusuri sabana dan rumput kering.

Belum sampai sejam kami menyusuri jalur sabana, malam tiba. Langit berubah hitam pekat, pandangan kami hanya sebatas sinar lampu senter. Langkah saya mulai gontai, perut keroncongan, sampai-sampai keringat dingin pun mulai mengucur perlahan. Badan saya begitu lemas. Pertanda sudah waktu untuk menghentikan perjalanan. Tapi suara kami terbagi dua waktu itu. Melanjutkan perjalanan atau bermalam ditempat datar dimana kami baru saja menginjakkan kaki. Dalam keadaan seperti itu bekal imaji keindahan sunrise di Plawangan Senaru yang sedari tadi menjadi stamina ekstra lenyap sudah. Saya memilih untuk mendirikan tenda disana, begitu juga Yogi. Tapi energi Bawa nampaknya masih sedikit berlimpah, dia berhasil meyakinkan kami untuk melanjutkan perjalanan sampai tempat datar berikutnya.

Sepintas tampak cahaya di kejauhan. Semakin dekat semakin banyak cahaya yang terlihat di sekitarnya. “Pos Cemara Lima!” teriak Yogi. Kami bergegas, tidak sabar rasanya untuk mendirikan tenda lalu merebahkan badan. Sesampai disana, tampak beberapa tenda sudah berjejer dengan rapi. Kami langsung mencari ruang kosong untuk menggelar tenda. Lelah dan dingin teramat sangat itu paling tepatnya memang dibawa tidur, jadilah kami hanya makan seadanya saja untuk sekedar mengganjal lapar sebelum kemudian tertidur pulas.

* * *

Bawa keluar dari tenda, dia tidak pernah absen untuk memenuhi panggilan alam di pagi hari pada setiap pendakian yang kami lakukan. “Pelangi” teriak Bawa. Yogi langsung bergegas mengambil kamera lalu keluar dengan tergopoh. Saya masih belum terbujuk, butuh waktu lama untuk membuka mata yang masih terpicing. “Te, pesu Te” teriak Yogi dengan logatnya yang pasti akan menimbulkan kepanikan bagi orang yang baru pertama kali mendengarnya. Tapi tidak dengan saya. Saya cukup terbiasa dengan gaya bicara Yogi yang terkadang krosokan* ketika hendak menyampaikan sesuatu yang diluar kebiasaan. Beberapa kali dipanggil, saya menyerah keluar.

Sreetttt! Saya membuka tenda. Mata saya kembali terpicing. Silau!. Badan saya menggelinjangkan membalas sapaan sayup embun yang membawa dingin.

Tidak jauh dari tenda, tampak Yogi sedang mengacung-ngacungkan kameranya untuk mengabadikan gambar. Bawa nampak sedang berjongkok di kejauhan. Dibelakang tenda berjejer kokoh beberapa pohon cemara yang menjulang tinggi. Tetapi tidak berjumlah lima seperti nama pos itu. Mungkin ketika diberi nama dulu, jumlah cemara di sekitar pos baru ada lima. Saya lalu menyusul Yogi, kemudian bergantian saling mengabadikan gambar dengan latar pelangi di lengkung langit, hamparan hijau kekuningan permadani alam sejauh mata memandang, juga biru langit yang begitu cerah.

Saya kembali teringat akan perjalanan yang pernah hinggap di mimpi waktu itu. Kali ini saya belum cukup beruntung untuk bisa menikmati sunrise di Plawangan Senaru. Mungkin lain kali. Sebuah pendakian akhirnya bukan hanya sekedar pemenuhan hasrat untuk menikmati keindahan bagi saya. Tapi lebih dari itu, ada pembelajaran tentang kerjasama juga meredam sifat 'aku' disana. Fisik boleh dilatih dengan melakukan olah fisik. Tapi bagaimana dengan mental? Bagi saya salah satu caranya dengan memberi dia pilihan tersulit, sehingga terpaksa harus melakukan hal yang tidak biasa dilakukan. Coba saja berikan kondisi seperti ketika kami sedang berdebat di tempat datar sebelum pos cemara lima pada mereka yang tidak biasa mengalah. Apa mereka akan tetap ngotot untuk bermalam di tempat datar sebelum cemara lima seorang diri, tanpa tenda juga perbekalan seadanya?. Meski ada unsur terpaksa, tapi toh juga kita jadi tetap belajar untuk mengalah. Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Lakukan itu berulang-ulang maka nanti juga akan jadi kebiasaan, akan menjadi bagian dari karaktermu, watakmu.
Ah, rambut saya tiba-tiba mulai banyak yang memutih rasanya.



Catatan:

"Krosokan" merupakan terminologi dalam bahasa Bali yang saya gunakan untuk menggambarkan teriakan yang mengandung unsur kepanikan sekaligus ketakjuban didalamnya.