Senin, 13 Oktober 2014

Euforia Gunung dan Laut

Malam minggu kemarin saya baru saja mengalong bersama seorang teman di pantai Kuta. Waktu itu kami sedang bercerita tentang entah sambil santap subuh di sebuah restoran cepat saji.

Malam sedang cantik-cantiknya. Di langit, bulan bulat sedikit bopeng sisa purnama empat hari sebelumnya masih menggantung. Gemerlap bintang membuat aksen langit malam yang sudah indah itu bertambah indah. Kenyang dan mulai terserang kantuk, kami melanjutkan obrolan sambil berjalan menyusuri garis pantai sebelum kemudian rebah di dipan kecil yang ada di pinggir pantai. Kami masih membincangkan hal yang sama, beberapa kali apa yang ada di kepala saya tetiba menyeruak lewat bibir teman saya. Saya jadi curiga kalau-kalau teman saya bisa membaca isi kepala saya, atau mungkin ada campur tangan angin malam disana, yang menelusup lewat telinga, mengambil isi kepala saya lalu membawanya ke kepala teman saya.

Waktu itu sebentar lagi pukul 5 pagi, dingin dan nyamuk sejurus menyerang seolah memerintah kami untuk segera pergi menyambut kedatangan sang surya. Karena kami adalah golongan orang penurut, maka tancap gas lah kami menuju pantai matahari terbit.

Langit sudah kemerahan ketika kami sampai di Sanur. Cericit burung menyambut kami dengan riang. Sudah lumayan ramai, dua bale bengong yang ada di pinggir pantai sudah diduduki segerombolan orang, di sepanjang paping yang dipasang di atas penahan ombak juga sudah berjejer orang-orang yang duduk menghadap laut. Nun jauh disana beberapa nelayan tampak sudah memulai aktivitas, beberapa ada yang sedang menyisir karang, beberapa lagi tampak sedang menarik jaring yang mungkin sudah dipasang sejak semalam.

Kami berjalan menuju bibir pantai, menuruni tanggul penahan ombak lalu berjalan menerobos air setinggi mata kaki (lebih sedikit) menuju arah ombak yang berada cukup jauh ke dalam. Sambil berjalan teman saya mengenalkan biota-biota laut yang kiranya merupakan santapan sehari-harinya. Ada beberapa jenis karang yang ditunjukkannya (sayang saya lupa sama sekali nama-namanya), ada juga rumput laut yang katanya sering disalah sebut menjadi alang-alang laut oleh sebagian orang. Dia juga mengajarkan membaca pola ombak. Teman saya yang satu ini memang lain dari yang lain.

Gunung Agung tampak menjulang di depan kami. Teman saya berjalan semakin jauh mendekati ombak. Saya mengantuk, perut juga sedang ngerodok. Saya memilih duduk di sembarang karang yang ada. Dengan posisi nyingkrung, kepala saya tempelkan di lutut yang saya lipat di depan dada. Sebentar-sebentar mata saya terpejam, sesekali terlintas beberapa visual tentang pendakian gunung Agung pertama yang saya lakukan. Nah, dari situlah cerita ini bermula.

Sepulang ke rumah Tabanan, hanya ada satu kata di kepala saya, tidur. Sungguh lelah. Saya langsung menuju kamar, merebahkan badan. Beberapa kali saya terbangun. Teringat kewajiban mengajar esok hari, iseng saya membuka laptop mencoba untuk menyiapkan bahan ajar. Beberapa kali itu juga saya gagal lalu tertidur lagi. Malam tiba, lelah belum beranjak. Apalagi yang lebih pantas selain melanjutkan tidur ketika lelah sudah bertemu malam?.

Senin tiba, waktu untuk mulai beraktivitas di kampus. Visual tentang perjalanan kemarin masih lekat di angan. Visual tentang gunung Agung yang tinggi menjulang ketika kami berjalan menuju arah ombak merupakan salah satunya.

Saya membuka-buka kembali media penyimpanan di sela jam mengajar untuk melihat seandainya foto-foto pendakian gunung Agung pertama saya masih ada. Foto-foto perjalanan tahun 2010 itu ternyata masih ada walaupun bukan file aslinya (file yang sudah terkompres).

Waktu itu saya baru saja lulus kuliah, ada jeda waktu mungkin sebulan sebelum wisuda. Saya hendak menghabiskan waktu di rumah Tabanan. Langsung saja Yogi menawari saya untuk melakukan dua pendakian beruntun dengan jeda waktu seminggu. Gunung Batukaru pada tanggal 7 Agustus, kemudian gunung Agung tanggal 14-15 Agustus. Belakangan seri pendakian beruntun ini bertambah sebulan setelah saya diwisuda, pendakian Rinjani pada tanggal 10-13 September menjadi penutup (semacam) perayaan atas kelulusan saya.

Melihat kembali foto-foto perjalanan itu menyemikan kembali euforia, perasaan nyaman, kegembiraan meluap-luap yang sempat hadir waktu itu.

Ada banyak detail perjalanan yang terlintas ketika melihat-lihat kembali foto-foto perjalanan yang terjadi 4 tahun yang silam itu. Kami yang berangkat berempat dari rumah Tabanan pukul 10 malam, Haris yang melihat sesosok orang ketika kami bersembahyang tengah malam di Pura Penataran Agung (padahal tidak satupun dari saya, Yogi dan Bawa melihat ada orang di sekitar), kami yang kedinginan ketika bermalam di bale-bale yang ada di areal jaba Pura Pengubengan, suasana mistis berada di tengah hutan cemara yang berselimut kabut, perjalanan menggapai dan menuruni puncak Agung dengan pemandangan begitu epic sampai perjalanan menurun setelah tebing Boyke yang kami lakukan dengan (antara) berlari, berlompatan, juga sesekali berperosotan.

Saya tidak hendak bercerita lebih lanjut tentang perjalanan ini, cukuplah foto-foto di laman flickr ini yang membantu menceritakannya. Sila mampir jika berkenan :)