Selasa, 08 April 2014

Musim Kawin

Tanggal 4 April tahun 2014 merupakan hari baik untuk melakukan upacara pernikahan di Bali. Beberapa teman juga ada yang melangsungkan pernikahan di hari tersebut. Berhubung saya sedang agak luang di Jogja dan kebetulan sudah cukup lama berniat untuk membawa harta karun selama di Jogja pulang ke Bali, jadilah saya memutuskan pulang beberapa hari untuk menghadiri pernikahan teman sekaligus membawa dan menata harta karun yang saya kumpulkan selama di Jogja di rumah.

Rombongan di nikahan Gatep


 “Engken, enggal kal e ne?”

“Bagaimana, bakal segera nyusul kan ya?” Begitu kira-kira kutipan bahasa Bali di atas kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Pertanyaan itu biasa terlontar ketika seorang lajang yang sudah cukup umur menghadiri acara pernikahan di Bali. Malam itu saya mendapat pertanyaan wajib tersebut dari teman saya yang sedang berbahagia, Gatep.

“Ne, ngantes Purna siap malu.”

“Nunggu si Purna siap dulu.” Goda saya pada Purna yang malam itu saya ajak kondangan menjawab pertanyaan dari Gatep.

Eh malah akhirnya saya yang kena batunya.

“Kamu nake enggalan lulus malu.”

“Makanya kamu buruan lulus.” Begitu goda Purna balik.

Malam itu saya kondangan ke tempat tiga orang teman seangkatan sewaktu SMA dulu. Sebelum ke tempat Gatep, saya ke tempat Eka Desyanti dan Charli. Sebenarnya masih ada satu teman lagi yang melangsungkan pernikahan malam itu, TJ. Tapi karena waktu tidak memungkinkan jadilah saya dan rombongan tidak sempat kondangan kesana.

Di minggu pertama bulan April ini ada enam teman seangkatan sewaktu SMA yang melangsungkan pernikahan. Umur kami yang sudah mendekati kepala tiga membuat hal itu menjadi sebuah kewajaran. Bahkan bagi keluarga besar saya di rumah Tabanan hal tersebut mungkin terkesan kurang wajar. Bayangkan saja, sampai dua tahun yang lalu saudara-saudara lain yang seumuran bahkan sampai yang lebih kecil 5 tahun sudah menikah semua. Jadilah saya yang masih berjuang menyelesaikan sekolah ini selalu mendapat bulan-bulanan pertanyaan “Enggal kal e ne?” setiap ada kesempatan pulang ke rumah. Paling-paling saya hanya menjawab dengan cengengesan “Ngantes lulus malu.” “Tunggu lulus dulu.”

Rombongan kondangan malam itu berjumlah lima. Di tempat Gatep kami bertemu 5 teman lainnya. Dari sepuluh orang baru dua yang sudah menikah. Jadi sebenarnya anggota klub teman seangkatan sewaktu SMA yang belum menikah itu masih cukup banyak. Ketika kondangan ke tempat Cepot malam sebelumnya juga, dari tujuh orang anggota rombongan yang berangkat, malah baru satu yang sudah menjadi Bapak. Hanya ketika kondangan ke tempat Mulyadi pada hari minggu yang sedikit terbalik, dari empat orang yang saya jumpai hanya saya seorang yang masih melajang.

Menghadiri pernikahan teman seangkatan sewaktu SMA selalu penuh haha hihi. Salah satu bahan haha hihinya apalagi kalau bukan mengenang kembali kekonyolan-kekonyolan yang pernah dilakukan sewaktu muda dulu. Bagi saya Mulyadi adalah salah satu orang paling konyol ketika SMA. Ada saja tingkah nyeleneh yang dilakukannya. Pernah pada suatu ketika dia bersama beberapa orang teman membawa kardus ke kelas-kelas guna meminta sumbangan untuk membeli arak. Tidak dinyana ada adik kelas yang melaporkan tindakan itu ke guru. Jadilah dilakukan investigasi pelaku gerakan "meminta sumbangan" dengan membawa denah kelas III IPS 2 (kelas yang dianggap paling bandel waktu itu) ke kelas si pelapor. Singkat cerita akhirnya beberapa pelaku dikenali dan dikenakan wajib lapor, datang ke BK setiap hari ketika jam istirahat pertama selama sebulan. Waktu itu sebenarnya BK sedikit kecele karena sang inisiator gerakan, Mulyadi, terbebas dari hukuman. Tahu penyebabnya? Foto yang dia pasang di denah kelas adalah foto sewaktu TK dulu. Jadilah tidak ada adik kelas yang mengenali wajahnya. Ah ada-ada saja.

Ada lagi kekonyolan lainnya, yang membuat kita terpingkal malam itu. Pernah suatu waktu dalam kelas Kewarganegaraan, Mulyadi hendak kentut. Waktu itu dia akan mengerjai Wira yang duduk di depannya. Dia pun menyampaikan pada Naya teman sebangkunya untuk menunjuk Wira ketika dia kentut nanti. Ajakan itu menyebar sampai deret bangku paling ujung. Kemudian kentut lah Mulyadi dengan nyaring, "Puuuuttt". Sontak semua teman menuding-nuding Wira sambil menyebut-nyebut namanya, "Wira, Wira, Wira, Wira". Wira jadi gelagapan, "Bukan saya Pak, Mulyadi" belanya dengan tampang tidak bersalah. Pak Guru hanya bisa tersenyum. Mul, Mul, ada-ada saja.

* * *

“Kadi nganten wae?”

“Kok kamu menikah?” begitu canda saya pada Gatep ketika kami sedang makan.

Dia hanya nyengir sambil kemudian mengunyah makanannya sebelum kemudian menjawab.

“Pedalem nyen panake, eh iraga ane pedalem. Nyan panake sedeng kuliah gelah sube sing nyidang ngasilan pis keweh nyan.”

“Nanti kasian anaknya, eh kita yang kasian. Kalau nanti anak kita masih kuliah sementara kita sudah tidak mampu menghasilkan uang, bisa susah nanti.”

Masuk akal juga kalau dipikir-pikir. Malam itu sebenarnya saya ingin menjawab pertanyaan “engken, enggal kal e ne?” dengan menyodorkan undangan pernikahan. Tapi sementara keadaan belum memungkinkan biar itu menjadi sebatas angan dulu.

Saya jadi teringat becandaan tentang waktu menikah yang dulu sempat saya bincangkan dengan beberapa teman. Waktu itu dengan spontan saya menjawab akan menikah pada umur 30. Eh ini malah kayanya hampir kejadian. Ketika teman-teman yang lain sudah menikah bahkan ada yang sudah memiliki dua orang anak, saya malah masih berkutat dengan diri sendiri dan kuliah. Ucapan memang benar-benar dapat menjadi doa, sebaiknya pikir-pikir dulu sebelum diucapkan. Tapi kalau doa saya yang dulu itu hendak dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, berarti seharusnya saya akan menikah tahun depan. Ah, semoga saja.

Akhir kata, Selamat menempuh hidup baru untuk Cepot, Eka Desyanti, Gatep, Mulyadi, Charli, TJ beserta pasangan. Rukun dan berbahagia selalu.

Rombongan di nikahan Eka Desyanti